Tuesday, April 1, 2014

Saya Putih, Saya Memilih

(monolog karena headset rusak dalam perjalanan 35 km tadi sore)


Saya masih terngiang diskusi para Sepuh Seger (kurang lebih) seminggu lalu. Tercetus oleh pertanyaan Sarah tentang salah satu calon presiden dari partai politik yang dipercaya memiliki elektabilitas tinggi sekarang ini. Dari obrolan tujuh hati, tersingkap bermacam ideologis politis dalam berbagai warna. Lalu saya bertanya pada diri sendiri, yang masih bergolongan putih, bendera apa yang akan saya pegang nanti? Atau pertanyaan yang lebih mendasar, apakah saya akan berpegang pada salah satu panji yang kini berkibar mewarnai sepanjang ruas jalan?

Enggak deh.

Saya lebih suka tetap berdiri pada titik putih.

Lho kenapa?

1. Menghindari chauvinisme

Ini yang paling jamak terjadi ketika kita sudah masuk dalam kelompok tertentu. Bukan hanya soal partai, katakanlah kita ada dalam institusi, organisasi, atau komunitas tertentu dalam pasar persaingan sempurna, artinya ada beberapa/banyak kelompok serupa dengan anggota yang tidak sedikit pula. Yang akan terjadi kebanyakan adalah, kita akan terlalu membangga-banggakan kelompok kita di depan yang lain. Tidak salah memang berbangga pada ideologi yang kita pegang. Bukankah Ideologi merupakan tanda bahwa seseorang mempunyai gagasan, ide, pemikiran. Tanda seseorang berpikir. Cogito ergo sum.

Masalahnya, apakah kita masih mau mendengar ideologi yang lain? Masihkah kita mau mencari dan mengakui kekurangan kelompok kita, atau menelusuri dan mengangkat topi untuk keunggulan kelompok lain?


2. Politik itu dinamis

    Padahal, politik itu tidak selalu statis. Bolehlah pada suatu rezim, merah merupakan oposisi utama si biru. Tapi apakah kalian tahu, di balik itu ada negosiasi untuk berteman di masa depan? Musuh politik hari ini, bisa jadi teman di esok hari. Sekarang saling memuji, tapi diam-diam membuat sajak dan puisi. Persahabatan politik bergantung pada kursi.

    Atau siapa pemimpin yang berdiri.
    Mungkin ketika sang harimau memimpin belantara politik, satu panji bisa sangat mendominasi akar hati masyarakat. Namun sekali lagi, politik itu dinamis, sayang. Meskipun dasar ideologi yang diusung masih sama, tapi satu pemimpin bisa mempermanis atau malah merusak susu sebelanga. Dan sebagian orang harus berpikir ulang untuk tetap berpayung pada partai yang sama.
    Terkadang saya menyanjung Tuan/Puan Pemimpin, namun kesal pada pengikutnya. Terkadang saya mengerutkan dahi ketika Si Pemimpin lewat beritanya, tapi menaruh respect pada para simpatisan. Saya bukan plin-plan...


    3. Menilai secara individu
    Saya hanya lebih percaya pada performa individu. Saya memang kagum pada Pak Jokowi, Bu Risma, dan Pak Ganjar. Saya mengikuti twitter dan instagram Pak Ridwan Kamil. Saya terinspirasi oleh Pak Anies Baswedan. Tapi bukan berarti hati saya mutlak berwarna merah, kuning, ataupun biru. Saya masih berpartai politik nomer urut 0.



    Tidak, saya sama sekali tidak ingin menyalahkan siapapun yang telah mewarnai hatinya, memegang erat suatu ideologi.
    Berpolitik adalah hak asasi setiap warna negara. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang, dilindungi oleh hukum yang tersurat dalam Undang-undang Dasar 1945 Bab X pasal 28.
    Saya juga tidak ingin mengajak siapapun untuk ikut tidak memikirkan masalah partai politik atau bahkan tidak memberikan hak suaranya dalam pemilihan umum nanti.
    Putih dalam pandangan saya bukan berarti tidak punya warna. Bukan apatis.
    Putih adalah campuran dari seluruh spektrum warna yang ada.
    Saya golongan putih karena saya berusaha menyerap seluruh warna untuk saya pahami tanpa tendesi.
    Putih pun nantinya akan tetap memilih. Mewarnai jarinya dengan tinta.
    Putih hanya suatu cara memandang dari suatu titik. Bukan buta politik.


    Karena buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu, dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa, dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional.

    Bertolt Brecht (Penyair Jerman)

    No comments:

    Post a Comment